Secercik cahaya muncul sedikit
demi sedikit. Mengintip diantara awan- awan yang berjajar di atas langit. Sinar
terang nan silau perlahan menuju ketengah- tengah langit. Panasnya bumi yang
muncul sepanas hati ibu beranak satu ini. Aisyah Zita Rahmasari namanya. Seorang
gadis yang saat ini duduk di bangku sekolah menegah atas di desanya. Satu bulan
lagi, ia akan bertarung mati- matian dengan berbagai macam soal sekolahnya. Gadis
yang bertekad dan berjuang mati-matian untuk meraih sebuah cita-cita mulia. Menjadi
seorang dokter handal. Cita-cita tersebut sampai terbawa mimpi pada tidur lelapnya.
Pagi-pagi
sekali ibu berteriak sekencang-kencangnya. Mengutus belanja anak satu- satunya itu.
Tapi, teriakan ibu tak masuk sedikit pun dalam hati Aisyah. Aisyah masih tertidur
pulas setelah mengerjakan tugas sekolah semalam. Ibu segera meraih gayung berisi
air untuk membangunkan Aisyah. Tak sampai pipi Aisyah tersentuh air yang dingin
itu, ia terbangun dan terpental dari tempat tidurnya. Spontan tangan ibu mendorong
kening Aisyah agar ia tak mengulangi perbuatan itu lagi.
Aisyah
mengambil segengam air untuk menyegarkan wajahnya. Segera ia berpakaian rapi dan
mengambil keranjang sayuran. Langkah demi langkah ia tempuh untuk membelikan sejumlah
sayuran agar bisa dimakan sehari hari. Memang, Aisyah terkenal gadis cantik,
pintar dan penurut. Tak heran jika diluar rumah ia sering mendapat rayuan gombal
dari para jantan. Namun rayuan tersebut tak dihiraukan olehnya.
Keesokan
harinya, hari untuk memilih sekolah lanjutan Aisyah. Ia berkeinginan melanjutkan
pada fakultas kedokteran pada salah satu universitas terkenal di Jakarta.
Aisyah berusaha berfikir matang- matang untuk hal itu. Tapi hasil fikiran Aisyah
itu di tolak mentah-mentah dengan kedua orangtuanya. Orang tuanya lebih memilih
Aisyah melanjutkan ke fakultas mekanika mesin pada salah satu institute
teknologi dekat rumahnya. Menempuh pendidikan dokter tidaklah mudah, apalagi
dengan modal yang sebesar itu. Sedangkan untuk menjaga kelangsungan hidup
Aisyah saja harus membanting tulang sekeras kerasnya. Tapi mereka tak pernah berfikir
seberapa besar potensi Aisyah, kekuatan Aisyah dan kelemahan Aisyah. Ingin rasanya
Aisyah menolak keputusan orang tuanya itu. Tapi, Aisyah tak punya alasan yang
kuat untuk penolakan tersebut. Ia mencoba untuk menerima keadaan dan pasrah akan
hal itu. Cita-cita yang ia damba-dambakan, yang ia mimpi-mimpikan dan yang ia agung-agungkan
itu hanyalah khayalan belaka. Terpaksa ia mengambil fakultas mesin yang bukan ia
cita-citakan selama ini. Sungguh ia sangat kecewa dengan keputusan ini, tapi ia
berusaha untuk menerima keputusan yang telah dibuat orang tuanya.
Hari
cepat berlalu, Kini saatnya Aisyah melewati tes masuk perguruan yang ia pilih.
Sempat Aisyah berpikir untuk menyalahkan jawaban- jawaban yang ia kerjakan. Tapi,
ia tidak ingin membuat hati orangtuanya kecewa. Aisyah menjawab soal tes itu
dengan semampunya, ia tidak ingin membuat hati orangtuanya kecewa meskipun
bertentangan dengan hati kecilnya. Ia berdoa dalam hati, “Jika Engkau
menghendaki aku melanjutkan di fakultas ini, terimalah aku. Jika tidak, Engkau
tunjukkan jalan yang benar”.
Seusai
tes perguruan tinggi, seorang wanita menyapa dari kejauhan. Semakin lama suara
itu semakin mendekat. Tapi, Aisyah tidak menghiraukan suara itu, ia terlelap
dalam lamunannya. Wanita itu adalah sahabat karib Aisyah, sebut saja namanya
Rina. Ia wanita yang sangat periang meski ia ditinggal orangtuanya. Lain
seperti Aisyah, Rina salah satu siswa yang dilema akan sekolah lanjutan. Sampai
saat ini pula ia tidak tahu apa yang akan ia cita-citakan. Sesaat Rina menggertak
Aisyah, Aisyah pun terbangun dari lamunannya. Rina menyampaikan panjang lebar
tentang soal yang ia kerjakan beberapa menit lalu. Ia kecewa, tapi sebesar
kekecewaan yang Rina terima, Rina tetap tersenyum riang. Lamunan Aisyah menarik
perhatian Rina untuk menanyakan hal yang Aisyah renungkan. Rina penasaran, tak
biasanya Aisyah terlihat sangat murung meski ia pendiam. Tetapi, Aisyah tidak
mau menjawab dan mengalihkan topik pembicaraan dengan Rina. Aisyah mengajak
Rina pulang karna sudah waktunya membantu ibu di rumah.
Sesampainya
dirumah ia mengemas batangan coklat yang akan diedarkan di sejumlah toko.
Seusai mengemasi batangan coklat ia segera mengayuh sepeda butut yang sedikit
berkarat ke beberapa toko. Sepeda itu terasa lebih berat dari ayuhan biasa. Setetes
dua tetes yang memancur di wajah ia usap layaknya tak ada hambatan. Semua itu
ia lakukan dengan ikhlas demi membantu ibu mencari nafkah.
Hasil
tes telah diumumkan. Aisyah diterima sebagai generasi ahli mekanika mesin dan
Rina diterima sebagai generasi dokter. Sejujurnya Aisyah cemburu dengan Rina
atas keputusan itu. Andai ia dulu memilih jurusan itu, pasti ia akan diterima
di fakultas tersebut. Saat Aisyah tercengang dengan kekecewaannya, ia tertoleh
ke muka Rina. Ia tertegun dengan Rina yang menangis tersedu- sedu. Tak menunggu
lama, Aisyah segera menghampirinya. Saat Aisyah disamping Rina, Rina langsung
memeluknya erat- erat. Saking eratnya,Aisyah merasakan nyeri yang begitu hebat pada
gengaman tangan Rina. Air berlinang dari sudut matanya semakin deras. Rina melakukan hal itu karna ia teringat
dengan orang tuanya. Rina merasa ia tidak berguna lagi, karna sebuah jalan
kesuksesannya tersebut tidak diketahui orang tuanya. Aisyah menenangkan Rina
sedikit demi sedikit. Setelah Rina tenang, ia mengajak Aisyah pergi ke makam
orangtuanya.
Terik
matahari semakin menyengat dikulit. Saat Aisyah mendongak ke atas ia melihat
betapa silaunya sinar dari sumber cahaya satu-satunya bumi itu. Aisyah dan Rina
telah sampai di makam orang tua Rina. Saat Rina berada tepat di samping makam
orang tuanya ia melemas. Lutut-lutut Rina serasa tak ada penyangganya. Rina
terjatuh dan tertumpu dengan kedua lututnya itu. Wajahnya tampak melas, air
matanya terus berlinang. Aisyah yang melihat sahabatnya seperti itu langsung
memegangi pundak Rina. Aisyah hanya bisa menguatkan dan memotivasi Rina agar
lebih sabar. Saat mereka terjatuh dalam suasanya rindu, seorang pak tua
mendatanginya dengan membawa cangkul di atas pundaknya. Pak tua itu memberikan
sepucuk surat, ia berminta maaf karna telat memberi titipan itu. Surat itu
dapat di berikan jika hanya pada saat Rina mengambil keputusan untuk masa
depannya.
Rina
membuka surat dari pak tua itu. Sepucuk surat itu berasal dari ibu Rina, Ibu
Rina menginginkan anaknya menjadi seorang ilmuan mesin yang bisa memimpin
perusahaan milik orang tuanya. Memang, orang tua Rina mempunyai perusahaan
besar yang Rina tidak ketahui selama ini. Rina pun tampak kecewa terlarut
larut. Ia bingung karna semua sudah berlalu. Tspi bagaimanapun ia tetap harus
menjalani apa yang telah digariskan oleh Tuhan
Kerlap
kerlip cahaya mungil di atas langit tampak bertaburan. Mereka berdua mengadakan
perpisahan kecil kecilan. Mereka berpisah karna takdir jalan kesuksesan mereka
berada dalam tempat yang berbeda. Aisyah membuat janji seusai pendidikan mesinnya
itu mereka harus bertemu di tempat perpisahan itu pula. Rina pun menyutujuinya.
Lima
tahun berlalu, malam itu janji yang mereka buat akan terwujud beberapa jam
lagi. Jam tujuh tepat, Rina menunggu di salah satu tempat duduk taman hijau.
Sembari menunggu ia membawa sebuah buku ilmu kedokteran dan membaca layaknya
orang besar. Tak lama kemudian, Aisyah tampak di sudut pandang Rina. Ia saling
menyapa dan Aisyah mempercepat langkahnya menuju Rina. Tanpa basa basi, mereka
saling berpelukan erat dan menghapus segala rasa rindu yang mereka derita
selama ini. Melihat buku yang Rina gengam, Aisyah meminta wawasan yang Rina
punya selama ia menimba ilmu di fakultas favorite
Aisyah dulu. Rina pun menjelaskan panjang lebar dengan selingan tawa khas
mereka berdua. Rina pun sebaliknya, ia ingin memiliki wawasan lebih dalam ilmu
yang sudah diterapkan orang tuanya. Mereka saling bertukar ilmu. Hampir setiap
hari, mereka bertemu karna rasa keingintahuan mereka itu.
Sebulan
kemudian, Rina diangkat menjadi dokter spesialis dan bertugas di Jerman.
Sedangkan Aisyah mendapatkan Job pada
salah satu perusahaan untuk dikirim ke mancanegara. Mulai saat itu mereka tak
pernah betemu lagi.
Suatu
hari saat Aisyah bertugas untuk mengawasi jalannya perusahan, ia mendapatkan
seorang rekan tertimpa benda keras. Ia langsung menangani dengan pertolongan
pertama yang ia dapatkan dari sahabatnya itu. Ia lakukan tanpa basa basi dengan
peralatan seadanya. Karna pertolongan yang ia punya, rekan kerjanya itu menjadi
pulih kembali. Ia teringat dengan sahabat lamanya, yang telah setia menemani
dan rela memberi wawasan yang dia punya secara cuma-cuma. Ia tersadar, meski
mereka berbeda tapi karna perbedaan itulah yang membuat ia saling melengkapi.
Ia merasa lebih sempurna karna bayangan sahabat karib yang setia menemaninya.
Komentar
Posting Komentar