SAHABAT?
Air itu menetes di antara dedauan. Satu
persatu mengalir berebut menyentuh tanah. Udara dingin terasa begitu membuatku
terdesak. Aku mengepal dan melipat kedua tanganku, mengangkat dan saling
mengikat erat satu sama lain. Berharap ingin mencari suatu kehangatan yang
membuatku nyaman dari pada sebelumnya. Aku terus memandang tetesan air itu,
mengalir begitu saja. Pasrah, tanpa arah yang jelas. Mengamati tetesan itu
hingga ke dasar bumi, dan teringat di hari esok yang penuh misteri.
Segerombol wanita datang dari
ujung sudut sekolahan. Berjalan serentak dan saling bercanda, bergurau layaknya
seorang wanita yang sedang menikmati sisa hidupnya. Menyapaku penuh dengan
senyuman. Mengajak dan menggeretku ke tempat yang lebih hangat. Dengan obrolan
yang membuatku nyaman aku terlarut dalam suasana yang begitu tentram. Memang,
mereka adalah segerombol anak yang saat ini dekat denganku. Seperti sekelompok
yang mengedepankan indidual. Namun, kupikir itu salah. Aku bersama mereka karna
aku ingin mengerti arti sebuah persahabatan. Saling melengkapi, menyayangi dan
menutupi satu sama lain. Tapi, semua berubah setelah terjadi perang dingin
antara aku dan mereka. Mereka menghiraukanku begitu saja. Seperti tak pernah
mengenalku sebelumnya. Menganggap aku ini roh halus yang tak berguna. Muncul
seperti angin kecil yang tiada arti.
Kembali aku duduk bersantai di
sebuah gubuk sekolah. Memandang hijaunya daun- daun yang mengelilingi gubuk
itu. Terlihat seorang anak berjalan membawa beberapa tumpuk buku, berkacamata dengan seragam yang tanggung.
Berkesan menyendiri dan kesepian. Berharap ingin ada seseorang yang mempedulikannya.
Tapi, ia hanya seorang gadis yang tak
berarti bagi yang lain. Bagi mereka, ia hanya seorang parasit dengan gayanya yang sok polos. Aku pun berfikir
begitu. Ia hanyalah seseorang anak yang manja dan lemah.
Seseorang memanggilku,
menyuruhku berpindah ke tempat yang menyeramkan bagi siswa. Tanpa berfikir
panjang, aku bergegas kesana. Tapi, sesampainya disana hanya terlihat beberapa anak
yang sok pemberani. Anak yang ingin meluapkan semua isi hatinya dengan tindakan
yang tak semestinya. Aku berusaha kuat dan tegar. Maju dengan langkah yang
pasti dan berandai membawa tameng di salah satu tanganku. Sekata dua kata aku
berucap, suara anak-anak itu menyolot. Aku berusaha sabar. Tapi, karna begitu
banyak suara yang membuat gendang telinga ku berdengung. Membuat jantungku
lebih cepat berdetak dari pada sebelumnya. Aku kehilangan kendali dan mencoba
bertindak pada salah satu diantara mereka. Saat aku berusaha untuk melawan, seseorang memukulku cukup keras dari belakang.
Berat rasanya, saking beratnya tubuhku tergeletak tak berdaya.
Seorang anak tampak mencemaskan diriku.
Genggaman ia yang begitu erat membuatku tersadar dari tidur sesaat. Terlihat
dari seragam dan cara berkacamata aku pasti kenal. Sebelum aku memanggil, ia
berlari keluar. Tampaknya ia tak mau dikenal. Sebenarnya aku hanya ingin
mengucapkan terimakasih padanya. Tapi, ah sudahlah. Tersadar di genggaman
tanganku terdapat secarik kertas. Ia meninggalkan sebuah surat misteri yang
membuatku penasaran.
Hari terus berlalu, semakin lama aku semakin
merasa penasaran dengan anak itu. Dengan rasa penuh terkejut, ada secarik surat
yang ada di meja tempat dudukku, tak sabar aku membuka surat itu dan membacanya
dalam hati.
“ Entah,berapa lama aku sudah tidak punya
teman lagi. Tak pernah merasakan berteman maupun bersahabat. Tapi ini lain,
kamu lah orang pertama dan terakhir yang menjadi temanku. Semoga ini
berlangsung hingga akhir hayat. Terimakasih telah membuat detik- detik
kehidupanku berarti”
Aku bergegas mengecheck absensi kelas. Ku coba periksa absensi kelas satu
persatu.
Astaga!, anak berkacamata itu ? Iya, anak yang
berseragam tanggung. Dimana ia sekarang? Aku coba untuk bertanya pada teman sejawat
yang lain tapi semua tak tau dimana ia berada. Sejenak aku berdoa dalam hati,
semoga ia baik-baik saja.
Keesokan harinya, tetap seperti hari pertama
ia tak masuk sekolah. Tak ada kabar yang pasti dan tak ada satu pun orang yang
tau keberadaannya. Aku semakin khawatir dan memutuskan untuk melacak rumah anak
berkacamata itu.
Setelah sekian lama aku berpetualang mencari
rumah, aku mendapat kabar tetangga rumah anak berkacamata itu bahwa ia sedang di
rawat di rumah sakit. Kabar itu membuatku untuk putar balik dan menemui
dirinya. Aku rasa, ini saat yang tepat untuk membalas budi kebaikan dirinya.
Di rumah sakit, ia tampak seperti menjadi
seorang anak yang periang. Tanpa beban pikiran. Satu kata yang ia ucapkan
menjadi bahan dimana kita memunculkan sebuah lulucon. Senyumannya membuatku
menjadi semakin tegar. Semakin yakin ia adalah sahabat yang sesungguhnya.
Satu dua minggu berlalu, ia tetap seperti
kondisi awal. Tiada tanda- tanda ia akan masuk sekolah. Aku pikir tiada hal spesial yang akan hadir di
lingkungan sekolah ini. Tapi, seseorang dari kejauhan datang, berdoyong-doyong
membawa tongkat berjalan perlahan lahan. Diikuti lelaki berbaju hitam di
belakangnya. Sekilas kutengok anak itu. Semakin lama semakin dekat, semakin aku
tamati ia. Dia? Anak berkacamata. Tanpa aku peduli dengan barang bawaan yang
ada di tanganku, aku berlari menghampiri dirinya. Berusaha menolong semampu
yang aku bisa.
Bel berbunyi, ia meminta izin kepadaku untuk
pergi ke toilet sekolah.Tapi satu menit kemudian. Segerombol siswa bergerumbul
di lapangan. Awalnya aku tak merespon hal itu, mungkin hanya beberapa siswa
yang meminta tanda tangan siswa terfamous
di sekolah ini. Tapi, ini lain. Petugas UKS pun datang membawa tandu. Jangan
jangan, dia? Iya dia. Aku berlari sekuat
tenagaku. Khawatir dan cemas menghantuiku. Tak peduli dengan peraturan sekolah
yang berlembar-lembar. Aku terus mengikuti ia sampai ia masuk ambulan. Memaksa
untuk ikut dalam ambulan itu tapi genggaman tangan seorang guru yang memegang
tangganku begitu erat. Tak kuasa aku melawannya. Semakin jauh mobil ambulan
itu, semakin keras aku memaksa, semakin besar keinginanku dan semakin deras
aliran air mata. Hanya berdoa dan berharap yang dapat aku persembahkan untuknya
Keesokan harinya, tulisan di papan dengan
abjad yang begitu besar. Aku terkejut dengan tulisan itu.
“R.I.P…….”
Belum selesai aku membaca, aku langsung
bergegegas ke rumah anak berkacamata itu. Oh,tidak. Ini nggak mungkin. Its not real!.
Malaikat telah menjemputnya. Memang hari itu adalah hari terakhir ia sekolah.
Hari terakhir dimana aku bisa bercanda.Mengenal dirinya. Merasakan lulucon yang
menurutku itu lulucon abadi. Hari terakhir dimana aku merasakan indahnya
persahabatan.
Komentar
Posting Komentar